TEACHER'S SIDE FUN AND JOY

Selasa, 17 Februari 2009

Guru Tersertifikasi dan Jam Mengajar

Dengan disahkannya UU no 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen melahirkan angin segar di kalangan pendidik, meskipun ada yang menanggapinya dengan sinis. Pemerintah dianggap tidak mampu menyediakan dana Tunjangan Profesi Pendidik (TPP) bagi 2,2 juta guru di seluruh pelosok nusantara.
Sejalan dengan diluncurkannya Permendiknas no 18 tahun 2007 yang mensyaratkan penilaian portofolio sebagai uji sertifikasi, memungkinkan sebagian besar guru dinyatakan lolos dan memperoleh sebutan guru profesional sehingga mereka pun berhak menerima TPP sebesar satu bulan gaji. Sedangkan bagi guru yang tidak lolos uji portofolio diwajibkan mengikuti PLPG yang diakhiri dengan ujian dan setelah dinyatakan lulus baginya diberikan hak yang sama dengan mereka yang telah lolos.
Apakah pemberian tunjangan tersebut berjalan mulus seperti yang diharapkan sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan guru pada umumnya? Atau ini hanya sekadar pemuas sesaat?
Di awal tahun 2007 para guru yang lolos sertifikasi pada tahun 2006 sudah menerima tunjangan tersebut, begitu pula dengan lulusan tahun 2007, mereka sudah menerima tunjangan selama 9 bulan. Guru-guru lulusan tahun 2008 dalam waktu dekat dikabarkan juga bakal menerima tunjangan tersebut.
Di sini terbukti bahwa pemerintah tidak sekadar obral janji. Sehingga para guru yang belum sertifikasi boleh berharap mendapat hak yang sama setelah lolos uji portofolio ketika kesempatannya tiba. Namun belakangan justru timbul masalah tentang beban mengajar guru yang harus mencapai 24 jam per minggunya sebagai salah satu syarat pencairan dana tunjangan itu. Lima belas mata pelajaran dengan 43 jam tatap muka per minggunya, tampaknya sulit membagi jam mengajar ideal masing-masing guru sejumlah 24 jam mengingat perbedaan jumlah jam tatap muka tiap-tiap mata pelajaran dan jumlah rombongan belajar di masing-masing sekolah.
Haruskah guru terpaksa gigit jari dan gagal menerima tunjangan karena terganjal kurangnya jumlah jam mengajar? Untuk itu diperlukan kearifan pemerintah pusat dalam rangka mengkaji ulang peraturan mengenai beban mengajar tersebut. Barangkali lontaran ide dari kalangan pendidik tentang team teaching, tugas tambahan seperti wali kelas, wakil kepala sekolah, kepala laboratorium, pembina kegiatan ekstra kurikuler, guru piket, dan lain-lain tugas tambahan bisa diperhitungkan sehingga dapat memenuhi beban mengajar yang disyaratkan.
Jika ide ini sesegera mungkin dibakukan dan menjadi peraturan yang mengikat dan diberlakukan di seluruh Indonesia, niscaya tidak akan terjadi benturan antara dinas pendidikan yang berpedoman pada jumlah jam mengajar murni sejumlah 24 jam di luar tugas tambahan dengan pihak sekolah yang memasukkan tugas tambahan dengan perhitungan jumlah jam. Bila semua pihak yang terkait berpijak pada peraturan yang sama tentunya harapan kita para guru tidak lagi berada dalam kecemasan dan kekhawatiran sehingga impian menjadi insan yang sejahtera segera terwujud sejalan dengan jabatan profesional guru yang disandangnya
.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda